Mari Iris Hati si Kambing
                Saat Waktu itu membentuk siku- siku diantara bundar 3600. (pukul 21.00)
                Aku : Aku : Aku : Aku : Manusia
                Setiap hari, tanpa penyesalan adalah kebohongan besar, sebesar kacang polong yang nyangkut diantara gigi geraham. Atau juga sebesar belahan pantat yang kemasukan celana dalam, cukup mengganjal. Seminggu tak pernah berlalu saat harap tak lagi menyatu, hingga seolah tak ada guna hidup dalam dunia yang layu. Cukup risih punya hati yang terlalu seperti permen karet yang nyasar didasar sepatu.
                Malam jua seolah selalu bohong akan temaramnya, hingga ku bisa merasakan dan menyalahkan bahwa bulan hanyalah pembohong besar, begitu juga bintang. Ku ingin hanyut dalam layu malam, sedih malam, juga tangis, muram juga sesuatu yang tak terlupakan. Malam itu adalah sosok yang dikagumi semua orang yang rasakan elegi, sakit, dan cabikan emosi yang mengiris dalam hati. Gelapnya yang tak lagi mampu tenangkan jiwa, hanya tumpahkan semua yang ada, hingga pecah hati yang merasa, juga hancur harapan yang ada. Seolah tak ingin lagi hidup didunia.
                Malam ini tak ada yang mengungkap kebohongan besar yang kulayangkan, pada setiap kunang- kunang yang terbelit kusut cahaya terang muncul dari ekornya. Atau juga yang kuceritakan pada asap yang mengepul dari perapian. Dan daging yang belum kunjung matang. (daging kambing)
                Kebersamaan, harusnya dapat hapus semua resah yang berontak dari dalam hati yang tak kunjung senyap pula. Yang harusnya bisa hantarkan pada muka yang gembira, seperti bunga yang bermekaran di taman surga, hangatkan seperti api neraka. Tapi mengapa setiap detik tak kunjung berubah perasaan yang selalu bergema ini. Seolah aku, aku, dan akulah makhluk paling malang didunia.
                Mari bayangkan apa yang si kambing katakan jika ku katakan itu padanya.
                Derita seekor kambing. (Aku : Kambing)
                Pagi itu, sejumput rumput kan tersedia diantara papan depan rumah yang selalu ku idamkan. Sekali lagi aku bohong pada diriku sendiri, bukanlah ini sesuatu penjara yang menyekapku, mengecilkan otot kakiku yang semakin kecil sepanjang waktu, karena apa lagi? Kalau bukan kakiku yang telah lama tak makan tanah, ataupun bebas bergerak kesana kemari lari. Apapun, ku impikan ku ingin lari, mengejar sesuatu, menuju sesuatu, apapun itu kuingin berlari, gerakkan kakiku agar tak kaku, karena apapun itu meski ku harus lari karena dikejar harimau sekalipun, aku mau. Karena ku ingin berlari. Mau apa lagi, hanya ada kaku, hingga ke seluruh kuku- kuku kaki- kakiku kaku- kaku. (rumah : Kandang Kambing)
                Bohong, dan bohong pada diriku sendiri, akan semua yang telah terjadi. Cuma itulah hartaku satu- satunya, yaitu ketenangan hati.
                Setiap hari tanpa penyesalan hanyalah kebohongan besar, meski terkadang senang atas rumput hijau yang menantang nafsu, dan perut juga tak lagi berkomentar, hanya makan- makan, dan makan. Inilah hidupku, entah bagaimana esok yang akan terjadi. Otak ku yang tak secerdas manusia mengatakan bahwa aku tak harus peduli, hanya jalani saja hari ini.
                Tapi bagaimana aku bisa diam, atau hatiku bisa bungkam, jikalau setiap hari suara ribut tetangga sebelah yang selalu kukeluhkan perlahan mulai sirna satu persatu. Semuanya berbisik dan tak tahu apa yang terjadi, suara nyanyian temanku yang selalu bergaung setiap pagi, siang dan petang itu hilang. Yang kulihat tuk terakhir kalinya adalah bayangan muka muramnya yang membuat rumputpun iba, bahkan burung tak berani bergeming, alam pun muram, lehernya terikat tali yang ditarik oleh manusia itu, dipaksa entah kemana, saat kulihat ia coba meronta dan berlari menghindar, semuanya hanya usaha percuma, kudapat mendengar ia berteriak dalam hatinya menatapku dan berbisik pelan, ‘tolong aku!’  itulah katanya yang terakhir dan disertai setetes air mata yang bercampur keringat yang menetes menghujam tanah.
                Lupakan! Karna ku tak mau memikirkan ! atau mau peduli. Aku hanya ingin senang menikmati hidupku sepanjang hari dan menyapa rumput yang hijau cemerlang. Huh, entah begaimana, hari ini ku kan mulai nikmati hidupku di rumahkutercinta hari ini. Ku ingin eek seharian hari ini, makan rumput yang banyak, eek, dan tidur. Semuanya berlalu seperti biasa, tak ada yang spesial ataupun berbeda.
                Ya, semuanya berlalu seperti biasa hingga manusia itu tiba. Pria jelek berjanggut lebat itu tiba, kubenci setiap tubuhnya dan setiap baju yang dipakainya, rokok yang dihisapnya. Pintu rumah mulai dibuka, terdengar suara yang paling menakutkan dari suara petir dihari badai, atau suara singa yang menggelegar. Pintu mulai dibuka, tali ikatan telah disiapkan, sambil ia berkata “Inilah waktunya.”
                Bangsat itu mulai mendekatiku, sesuatu yang tak benar- benar kuinginkan, sambil menatap ia menetskan air liurnya melihar badanku yang memang gemuk, ku tahu dia masih punya insting hewan juga, ya, rasa lapar, dan aku juga tahu bagaimana akhirku nantinya. Ingin ku tendang mukanya dengan seluruh kekuatan yang kumiliki hingga ia mati tersungkur ditanah. Tapi aku juga marah dan menyesal pada diriku sendiri yang akhir- akhir ini memang malas- malasan dengan makan seharian sehingga berakibat fatal, tubuhku menjadi yang tergemuk dari semuanya. Pantas jika ia menginginkanku.
                 Hal yang tak inginku fikirkan, dan tak inginku bayangkan. Semuanya berlalu dan begitu saja menimpaku, tali yang tak putus dengan erat mengikat leherku, hingga menyentuh urat leher, begitu dekat, setiap kuberontak tali itu denga tak banyak tanya langsung lebih erat mengikat leher den menjerat aliran darah kekepala, hey! Bisa ngobrol sedikit denganku?. Rumput yang iba, burung yang tak bergeming, dan alam yang muram, semuanya tertuju padaku, ditambah dengan kambing lainnya dengan iba menatapku, meninggalkan salam terakhir dan tangis terakhir untukku, begitukah? Itukah hadiah perpisahan untukku? Seberapa besarkah mereka menghargai diriku?. Hari ini, mereka subjeknya dan aku pada hari ini adalah objek simpati mereka, namun hidupku lah yang menjadi objek penderitaanku hari ini. Ku benci semua makhluk didunia!
                Namun saat itu kurasakan langkahku di alam terbuka, saat manusia ini menarik ku dengan tergesa, kubisa rasakan langkah berlariku. Inikah kebahagiaanku? Apakah hidupku untuk ini?
******
                Banyak sesalan yang mengganjal seperti kepalaku yang mengganjal diantara golok dan papan jagal. Hanya beberapa perubahan untuk kata ‘ganjal’ menjadi ‘jagal’, sama halnya dengan ‘hidup’ dan ‘mati’, semua hanya perlu sedikit perubahan.
                Dan akankah semua alam kan menyeru menyebutku yang ‘kan terengah sesali perpisahan dengan dunia. Bersama ayunan pisau yang kan berayun dengan beberapa gaya dari tangan penjagal yang berurat, ku tahu pasti awal dari gelap ‘kan menyambutku, dan sekarang mereka bersiap memulai semuanya.
                Tuhan? Adalah kau senang melihat makhlukmu ini? Apakah memang seluruh tubuhku ini kau ciptakan sebagai pengisi perut para manusia itu? Apakah mereka tak terlalu serakah?. Jelaskan padaku jika ku bertemu Kau nanti. Kuyakin, rumput surga ‘kan menyambutku dan ku dapat melambai pada rumput dunia ini.
                Waktu tak terasa sampai pada akhirnya untukku bersama peluh si jagal yang seolah tak sabar terjatuh ke tanah, dan pisau yang berayun. Perlahan, perlahan, dan perlahan, saat benda itu menempel dileherku, kutak tahu lagi apa yang terjadi.
Hanya ada gelap.
Si kambing takkan berulah lagi.
******
                Aku : Manusia
                Sesuatu yang tak terbayangkan, memang tak seharusnya dibayangkan jika semua hal menyertakan waktu yang dapat membuat fikiran melayang, atau bikin hati tak tenang. Semerbak emosi tersulut elegi yang berkonsentrasi tinggi dalam watak yang tak membendungi ‘kan lelah dunia menghadapi semua ini. Itulah semua kebencianku, pada sesuatu yang tak ingin kusebutkan, entah takdir atau apapun itu.
                Kubenci semua bintang yang bersinar dilangit atau juga gelap langit yang tunjukan wajahnya. Mengapa semesta ,emgalir dalam aliran waktu yang begitu sempurna hingga tak ada celah tuk kembali, meski ke satu mikrodetik yang lalu.
                Terpejamlah mataku, dunia ini tak membiarkan ku tuk kembali lagi, maka layangkanlah matamu pada memori itu!
                Asap yang mengepul dari perapian, kambing yang belum jadi abu. Asapnya terbang menuju surga kabarkan kemenangan atas manusia dimuka bumi.
******
                “Bangunlah kau! Si pemakan dagingku!.”, suara menggema dari gelap malam. –membahana-
                Berat mataku, namun ringan tubuhku, apa yang terjadi dengan jasadku?. Kambing yang terjagal pagi tadi kini telah ada dihadapanku, menatapku dengan semua benci yang ada. Namun buat apa benci? Jika surga tlah ada dikakinya, bukankah aku yang mengantarkannya?
                “Kau. Berapa centi janggutmu telah tumbuh sedari pagi tadi?”, tanyaku. –begitulah cara menanyakan kabar. Bukan yang baik tentunya-
                “Dimana jasadku?”, tanyanya dengan tajam kearahku.
                “Perapian, arang telah ganas menjilatimu.”
                “Butuh apa kau dari jasadku?”
                “Ku masih makhluk bernyawa, maklum saja. Bukankah kau tahu hukum alam sebelumnya bagaimana?”
                “Hmm, sudahlah.”, jawab sikambing tak peduli. Kapan kau berulah lagi?
                “Sejak kapan kau bosan mengembek?”, tanyaku iseng.
                “Ini surga, perlu kusampaikan salam?”, tanya si kambing.
                “Salam? Pada siapa?” tanyaku heran.
                “Seorang kau rindukan, dari waktu dahulu.”
                “Peduli apa?”
                “Kuhanya kasihan melihat bulan yang wajahnya miris melihatmu yang teriris.”
                “Ku tahu, kau merindukannya.”
                “Bukankah kujuga telah disini? Telah mati.”
                “Enak saja, ini hanya sementara sebelum kau dihempaskan menuju dunia, jasadmu masih bernyawa!”,
                “jadi? Mau kusampaikan.”
                “Lupakanlah! Pada Tuhanmu saja!”
******
                Masih membikin nafsu abu yang mengepul ke udara, hasil oksidasi dari senyawa tiap butir sel daging si kambing.
                “Matang, Woy! Jangan molor aja!”
                Sesuatu yang selalu ku nantikan, pembalasan dendam pada si kambing, malam ini ‘kan terpuaskan. Dengan bunyi yang nyaring dari dasar perut yang berdering, daging sikambing habis sepiring!
*****
                Malam takkan hilang, hingga satu mentari bersinar. Dan bulan beserta bintang enggan lagi berbinar, namun terlalu panjang untuk menjadikan semua ini datar, bersama perutku yang tak lagi lapar.
                Kabing itu dalam fikiran, tak lagi berbunyi atau berpendar, hanya terdiam beberapa saat, karena apa dia bungkam?. Apa karena jasadnya yang masuk kedalam perutku membuat ia menyesal tinggalkan dunia?. Hai kambing, bicaralah!
                Beberapa mata yang tak lagi menatapku heran,difikirannya tak lagi tersirat kegilaanku, malah mereka melupakan semua yang berlalu bersama asap yang lagi mengepul, nmun bukan dari cerutu, hati si kambing, teriris lagi. Warnanya mulai kecoklatan, waktu berlalu bersama bberapa tetes liur yang menghujam tanah.
                Kambing? Apakah kau sedang merayuku? Oleh semua yang kau dapati dari berhelai rumput surga yang kau makan. Apakah karena itu kau fikir ku kan menyengir karena itu. Hanya satu kata dariku, salam untuk Tuhanmu, bila ku disurga nanti, ku kan kembali memenggalmu.
                Jangan tanyakan atau minta pada tuhanmu agar ku tak bersamamu. Jika harus ku kesana tuk menyusulmu, takdirku takkan kemana, takkan keneraka bila tak ada dosa. Dan ku takkan lagi berdosa, tak pernah berdosa, kecualai malam ini –iris hati kambing-.
                Biar abumu menyebar ke seluruh angkasa, meghantarkan berita ke seluruh dunia bahwa satu kambing telah tiada. Mungkin takkan ada yang berduka, melainkan temanku yang bersuka cita. Beberapa jengkal dari jarimu telah tercincang, dan tulangnya yang juga memar, tertusuk rapi diatas garangan arang api, mulai panas, terbakar dan masak. Tak dapat ditolak, perut kami juga mulai berontak.
                Kanibalisme, apa Tuhan atur akan itu. Organik makan organik, anorganik makan anorganik. Organisme yang tadinya harus berjuang penuh untuk hidupnya harus terkubur diatas timbunan lemak perut yang lain meski harus berbentur. Beberapa sel seolah tak berarti yang pada akhirnya akan mati.
                Mari kita belajar dari anorganik yang dari dulu akur tanpa turut ribut tak beratur. Tak ada makan, atau yang dimakan, namun bercampur, berbaur.
                Batu kan tetap menjadi batu hingga panas turut buatnya lebur. Atau air yang kan jadi air hingga panas, menguap dan membuat kabur.
                Itulah keteraturan yang dihadirkan Tuhan untuk para organik yang serakah. Ukan balasan atau timpalan kesengsaraan, melainkan keteraturan yang membawa pada kehidupan.
                Maka, hai Kambing, apakah masih mendengarku? Ataukah kau sedang menghitung bulumu yang serupa emas itu, lebih berharga dari isi dunia ini. Terserah akan mukamu!
                Terimakasih atasmu, penderitaanmu yang ‘kan berarti bagiku, lebih dari malam yang tak bendungkan emosi. Leih baik abumu, yang masuk dalam hidungku, atau jasad mu yang membau sedari terjagal hingga sekarang penuhi perutku.
end