Dalam Sepotong Mimpi
                Didalam kepala, sebuah dunia bulat, kecil berdiameter dahi, terpotong setengah lingkaran yang berukir kerut kemirisan. Tersimpan otak, yang erbelah bertentangan, berliuk, dan keriput. Termakan umpan senja dari gelap yang didatangkan oleh mentari. Terdiam lelap dala tidur dan terciptalah sepotong mimpi :
                Dunia itu mangkuk yang terbalik, melingkup, dan meliputi jagat suram, maya, dan tak abadi. Melengkungkan langit meraba cakrawala yang tak terjamah mata saat pagi tiba.
                Jagat ini tercipta dari sentuhan emosi si pencipta dan dari guratan memori yang tak sengaja dikaburkan, berwujud abstraksi dikepala yang tengah terlelap saat malam tiba. Mimpi. Namun, si pencipta bukanlah Tuhan.
                Semua orang disini kalut, baai benang yang terlalu kusut. Rambut mereka melambai sampai sikut, bisanya ribut, namun sayangnya mereka takkan bisa keriput. Apalagi dapat maut?
                Jalan raya, semua berjajar orang- orang ber-jas, berdasi dan tampak terpelajar, bergegas pergi lalu masuk kes sebuah auditorium besar, namun tak berpagar. Saat itu orang- orang itu tengah sadar, kalau waktu yang membuat jantung mereka tetap bergetar.
                Ruangan itu sangat besar, hingga seorang yang mmbawa peta atau kompas pun bisa kesasar. Terjajar kursi yang direndengkan bersama meja bundar yang diatasnya ada beberapa proposal. Staff dan menteri ikut turut, bersama wakil direksi juga ikut. Tiga ratus klan direksi yang berbeda, beda misi namun satu upaya, tetap berjaya dalam negara, rela debat meski urat sampai pegat.
                Namun, tak ada yang bisa dilakukan selain ribu, saat pemimpin belum ikut turut.
                Sang pemimpin, si tetua datang, dengan keriput dan cemberut, sontak menghentikan ribut. Lalu ia duduk di kursi bersama wajah yang masih terpampang cemberut. Semuanya tak lagi kalut.
                Penyambutan dari sebuah permulaan sidang besar kesatuan orang yang terpelajar. Memecah masalah menjadi jalan keluar, hingga kelar dan tuntas sampai ke akar.
                Masalah terbesar yang , masih dini. Saat permulaan dunia ini baru terjadi dan seluruh orang di negeri masih bingung masih bingung dengan apa kita mengisi ini?. Maka usulan- usulan pun tak dapat dibuang untuk otak yang masih rancu.
                Dunia ini tercipta dari sebuah memori dan otak yang jadi peranti. Mengisi luang saat senja hari hingga datang pagi, dan fajar. Dunia itu namanya mimpi. Dan makhluk didalamnya hanya bisa mengisi kepala si pemimpi yang sedang terlelap. Apapun yang mereka bisa lakukan yang jelas dengan satu tujuan, menyenangkan si pemimpi agar lama tertidur lelap menikmati mimpi yang mereka buat.
                Terkadang jua, jalan tak selalu mulus, jikalau mereka tak bisa bekerja bagus. Buat mimpi, malah mimpi buruk yang bisa buat mereka terpuruk. Hingga si pemimpi benar- enar terbangun, maka mereka semua terjemput maut karena dunia mereka yang usai karena mimpi terbangun. Dan semesta baru dimulai kembali.
                Hayat jagat ini hanyalah semalam, mungkin dari jam delapan malam sampai jam enam, kalu mereka untung, jam tujuh pun terkadang. Mereka hanya bisa pertahankan seadanya agar si pemimpi tak bangun duluan.
                Tugas mereka hanyalah membuat, dan membuat mimpi untuk mimpi si pemimpi. Namun semua butuh strategi. Bagaimana caranya agar si pemimpi tak bangun hingga pagi hari?, mimpi apa yang bagus hari ini?. Jawaban terbagus adalah “Tak membuat mimpi buruk”
                Maka diskusi pun dimulai saat tetua mulai melambai, memesan minum kopi hangat pada si pelayan.???????
                “Kita butuh bahan untuk pertimbangan kisah mimpi pak ketua?”, tanya seorang.
                “Ambillah, menteri memori. Berikan.” lalu terlayang beberapa berkas ingatan dari si pemimpi, si pemilik dunia ini (Karena ada di kepalanya).
                Lalu semuanya sibuk mencari, dan mengamati, dan juga mencermati. Ada pula yang tidur dari tadi.
                Bekerjalah mereka dengan beberapa memri seputar kesenangan, impian, harapan, kebahagiaan, dan juga keindahan. Membuat kisah bagai puisi, ditambah sedikit nakal, beberapa hal yang disensor. Biar si pemimpi betah dalam mimpinya, dikit basah juga gak apa- apa.
                Muncullah dua buah kisah yang disepakati, namun dijadikan ajang unjuk emosi oleh para direksi. Kesemuanya memecahkan mereka hingga tidak kompak lagi. Terpecah menjadi dua kubu yang saling keras, mempertahankan argumennya.
                Saling hujat tak terelakkan dari keduanya mempertahankan argumen masing- masing. Saling hujat, serang, banting, dan hancurkan. Hanya itulah pekerjaan mereka saat ini. Saat argumen mereka tentang mimpi yang paling indah saling dipertaruhkan seolah disitulah hidup mereka masing- masing digantungkan, tanpa tahu dimana hidup dan jagat raya mereka digantungkan?. Mulai dari gonyok suara, berlanjut jadi histeris massa, dan saat semua caa mulai bosan ribut menjadi pilihan. Semuanya saling ribut dalam birokras anarki dan diskusi yang memanaskan. Tujuan seolah tak jadi lagi tujuan, yang penting hanyalah usaha dan keinginan sendiri harus terpenuhi.
                Pemimpin pun mulai kalut, dan dengan masih memegang janggut mencoba menenangkan massa yang memanas ribut. Namun dengan itu belum juga surut, malah si pemimpin ditimpuki sepatu yang nyangkut pas dimulut. Beberapa lama berlalu, ribut tak kunjung surut, semuanya mulai lebih semrawut.
                Apa yang mereka perebutkan? Hidup mereka? Atau sesuatu yang nyangkut diantaranya? Mereka bergelut layak debu- debu jalanan yang tertiup angin lalu berbaur mempolusikan udara sekitarnya, menggores mata dan merusaknya. Tak ada gunanya. Apabila mereka gantungkan hidup mereka pada mimpi itu, lantas bagaimana dengan segala makhluk dijagatrayanya? Apakah mereka hanya akan menunggu mereka saling gelut lantas bertanya siapa yang menang tinju? Atau berapakah ronde dihabiskan? Atau siapa wasitnya?. Gak ada untungnya bagi mereka atupun makhluk disekitarnya kecuali kalau ada yang menang lotere dari pertarungan ini.
                Mereka tak tahu alau si  pemimpi yang punya fikiran dan mimpi sedang melihat dan menyadari mimpinya ini. Tentang sekumpulan debu yang saling ribut bergulat dan saling pukul diantara ruangan mewah ber ac dan diantaranya terpajang meja- meja diskusi. Sekumpulan orang terpelajar yang sedang asyik belajar menyelesaikan masalah dengan cara yang primitif. Lalu mereka bilang : “Cara nenek moyang harus dipertahankan”.
                Bukan jawaban yang tepat jika kau bukan murid darwin.
                Si pemimpi mulai resah dengan segala mimpinya, yang sedari tadi hanya memimpikan orang yang saling pukul tak belas kasihan, maka terciptalah mimpi buruk yang semakin membuat resah. Dirinya gusar bersama tempat tidur yang mulai kusut, keringat dingin menyapu wajahnya yang memancarkan ekpressi suatu ketakutan, kegursaran, dan keinginan untuk terbangun, keluar dari mimpi yang begitu tak menyenangkan.
                Sementara itu, dalam dunia mimpi para eksekutif ini tak bisa menyelesaikan perbedaan pendapat ini denga cara yang diajarkan oleh gurunya waktu disekolah dasar. Maka semuanya mulai ribut dan kembali memuncak, sementara si pemimpin, yang mulai tersadar kalau ada sepatu dimulutnya, dan mulai resah dengan keadaan yang ada. Ia menyadari kalau si pemimpi mulai gusar, MEREKA CIPTAKAN MIMPI BURUK!!!.
                Ia merasakannya.
                Tanah saat itu bergetar, dan melebur bersama menjadi abstraksi yang lebih halus, bersama buih dari setiap air dilautan yang tak lagi dapat terlihat karena terlarut menghilang menjadi materi yang lebih halus. Mentari pun redup dan tak kembali bersinar, dan langit yang berputar- putar bagai spiral permen yang gelap warnanya, perlahan hilang di tengah- tengah langit angkasa. Banyak orang dan makhluk didunia mimpi tu berhamburan keluar, menjerit an bertanya- tanya mengapa waktu ini begitu cepat terjadi. Mereka mnyadari kalau mereka telah menciptakan mimpi buruk bagi si pemimpi.
                “Inilah akhir mimpi ini. Si pemimpi terbangun! Kita telah ciptakan mimpi buruk!!”, ucap si tetua.
                Keributan di sidang itu terhenti dan berubah menjadi penyesalan dan kekecewaan atas kelakuan dirinya, mereka jatuh dan menangis, apa yang telah mereka lakukan pada hidup mereka sendiri? apa yang mereka lakukan pada jagat raya mereka sendiri? kini semuanya terlah terjadi, semuanya akan mati dan hilang bersama mimpi buruk yang telah tercipta menjadi guratan kenangan.
                Si pemimpi terbangun.
                Ia terbangun dengan keringat dingin yang bercucuran di sekujur wajahnya, bersama hati yang gusar karena mengalami mimpi buruk yang begitu mirisnya. Ia lalu beranjak dari tempat tidurnya, bersama detik waktu tengah malam yang masih berdentang, ia melangkahkan kakinya menuju dapur yang gelap, mengambil segelas air putih dan ia minum untuk menenangkan hatinya, dan bersiap kembali tidur.
                Saat ia telah ditempat tidurnya, merapikan selimutnya, saat ia berfikir ia siap untuk tidur, makan ia telah terlelap tidur, dan ermimpi kembali. Semoga bukan mimpi buruk lagi.
                Sebuah mimpi baru telah dijalani.