Hujan, selalu seperti itu saat ku membawa payung. Memang seharusnya seperti itu, namun hanya beberapa langkah terasa berat. Genangan air hujan mengalir ditepian dan sepanjang jalan, dan riak dari setiap tetes hujan yang turun terlihat jelas menggemercikkan air sepanjang jalan itu. Hujan pun turun dengan derasnya diselimutin senja yang telah menua, dan juga dalam bayang lampu jalan yang mulai terlihat meski agak samar, dalam beribu tetes hujan bersama celanaku yang agak basah, aku mendengar samar adzan maghrib terdengar dari masjid itu, akupun melangkah menghampirinya.

Berjuta tetes hujan ini tak seberapa banyaknya dibanding seluruh nikmat yang telah Ia berikan sejak pertama menarik nafas.

Shalat telah selesai didirikan, beberapa shaff jamaah juga telah pulang sebagian lagi masih berdoa dan mengerjakan shalat sunnah, sesaat saya menunggu dalam lamunan, melihat sekeliling dalam ruangan masjid yang tak terisi penuh. Karpet hijau lembut yang mengingatkan saya pada sprei kasur di rumah, dengan cahaya yang cukup terang dihiasi oleh lampu gantung dari kaca kristal diatasnya, memang terasa nyaman untuk sekedar beristirahat, -dan shalat- karena shalat juga termasuk dalam istirahat. Karena dalam shalat sejenak fikiran kita akan tenang sejuk, dan nyaman sebuah bagian kecil dari nikmat ketenangan dari surga -jika bisa khusyu-, mungkin zaman sudah sampai pada akhirnya, sehingga orang- orang mulai sedikit yang bisa merasakan khusyu dalam shalatnya, karena pada akhir zaman kekhusyuan shalat dicabut oleh Alloh SWT.

Hanya beberapa saat setelah itu, ku layangkan pandangan ke salah satu sudut ruangan dan disanalah salah sorang teman ku beranjak berdiri menyelesaikan shalat sunnahnya, lalu perlahan menghampiri sambil berkata.

"Mari makan di warteg Bahari,. ."
Ya, meski ia tak berkata namun setidaknya bisa ditebak kalau dia lapar.

Haruh....