Cara untuk merasa itu, punya hati.
                Saat hati tak merasa, maka kau tak punya dunia.
                Hidup dalam hiperbola, bukan tanpa percuma, hidup itu kanvas, dan lukisan itu bagaimana cara seorang menggambar hidupnya. Putih, hijau, kuning, merah, semuanya, berbaur, dan warnamu kan menghitam. Hanya pilih satu warna dasarmu, dan lukislah diatasnya, menurut instinc, hati, nurani, semua tentangmu. Be yourself.
                Hati itu unik, sama seperti indra, beda dari semua indra hanyalah impuls yang diterimanya. Berbeda dengan mata, telinga, lidah, kulit, kesemua indra menerima rangsang dari suatu materi, yang jelas  bentuk dan rupanya. Tapi hati itu bagaimana? Terkadang bukanlah impuls materi yang diterimanya. Seperti perasaan, emosi, persepsi, kesemuanya bukanlah benda yang terukur atau bisa diukur.
                Hati itu bukan liver, bukan juga jantung, dan bukan juga otak, bagian yang tak terjamah, mungkin begitu kecil. Tapi bagaimana bisa menampung semesta?
                Kompressi Data, mungkin itu kata yang tepat untuk proyekku ini. Mengkompress seluruh data semesta dalam hidupku, dalam sebuah prosa, ya puisi. Bukan tanpa alasan, atau iseng, hanyalah tugas dari guru mata pelajaran bahasa Indonesia, mengingat pelajaran kali ini telah masuk dalam bab sastra. Mungkin ide yang berlebihan,  ku mulai terhanyut. Tapi bagaimana caranya?
                Oke, pertama, buat temanya. Temanya yaitu, ‘hidup’, ‘hidupku’.
                Sore itu, semesta terhalang mendung dilangit yang melengkung, beberapa menit termenung.
“Ah, semesta. Semesta itu bukan aku saja. Orang lain ikut andil dalam ini. “, terucap dari mulutku.
                Sejak itu, tema puisiku menjadi  ‘Hidup’. Lebih universal, mencakup semua orang. Maka sejak saat itu juga, ku mulai menanyai, pada temanku, tetangga, semua orang yang dijumpai, oleh pertanyaan yang sama.
                “Jika hidup mu itu diringkas dalam satu kalimat, kalimat apa itu?.”, Tanyaku pada suatu pagi di sebuah terminal pada salah seorang temanku. Maka selanjutnya, dapat ditebak, hanya diam beberapa detik , dan terjawab.
                “Tau ah, gak penting.”, lalu pergi.
                “Hidup itu, ini.”, jawab preman terminal sambil menggerakkan jarinya, didepan mataku. Aku tahu isyarat itu, uang. Isyarat itu menjadi jawaban yang hits setelah aku bertanya kesekian kalinya pada tukang ojek, supir angkot, tukang gorengan, penjaga warung, pengamen. Ah, semuanya sama saja.
                Materialistis, semuanya hanya inginkan uang. Apa yang bisa mereka lakukan dengan uang itu, apa mereka bisa membeli dunia ini, apa yang mereka lakukan jika mereka mempunyai uang setinggi gunung. Mungkin salahku juga karena menanyakan pada orang- orang yang sedang butuh uang, pada orang yang sedang bekerja, mungkin fikiran mereka terisi oleh materi belaka, hanya untuk mencukupi hidup mereka, menghidupi anak istri mereka.
                Seperti pengemis yang tengadah di trotoar dengan topi usang yang menghadap langit, muka memelas, hanya berharap dan memohon, uang akan jatuh menimpa dan mengisi topi mereka itu. Tak peduli uang itu berasal dari mana, dari hati yan iba, atau uluran yang bersahaja, maupun niat muka dua, kesemuanya sama saja. Mungkin ditengah penantian mereka, tersirat permohonan maupun mimpi semoga uang kan jatuh dari langit, awan kan turunkan duit.
                Preman terminal sama saja, hanya sedikit bermodal  sama seperti artis atau model. Cukup tampang garang, dan pasang akting brutal, duit pun masuk ke kantongnya beberapa lembar. Uang, dan uang, tak ada tujuan lain dihidupnya, mereka hanya hidup untuk hidup.
                Jika uang adalah hidup mereka. Maka aku kan tanyakan pada orang lain, yang ku kira cocok. Yang tak ada uang difikirannya, yang benar- benar dapat menjawab pertanyaanku ini, dan ku kan terpuaskan.
                Berlanjut dalam pencarian jawaban atas pertanyaan yang sama. Uang mungkin hanya sampah yang mengotori fikiran seseorang, maka. Aku berfikir untuk mencari orang yang bersih dari uang dikepalanya. Tapi, itu sulit, semua orang butuh uang dalam hidupnya, tak ada orang yang tak mementingkan uang, tak ada orang yang tak mau diberi uang. Salah satu jalannya yaitu mencari orang yang sudah punya banyak uang, mungkin terlalu banyak sehingga ia tak usah memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang. Aku butuh seorang konglomerat.
                Paul, pemuda yang kutemui, dia adalah anak orang kaya, saking kayanya, ia tak pernah memikirkan ia kan jadi apa. Jangankan bekerja, kuliah pun seolah tak penting baginya. Karena biarpun begitu masa depannya telah terjamin oleh kekayaan orang tuanya. Setiap hari kerjanya hanya nongkrong- nongkrong dengan teman- temannya di bengkel motor yang sering ku lewati setiap pagi. Atau terkadang, berkeliling kota dengan mobil sport ferrarinya, main di klub atau kafe. Semua hidup dijalaninya dengan kesenangan. Mungkin ia orang yang tepat untuk dapat memberikan jawaban tentang apa itu hidup.
                “Akh, men. Lo pengen tau hidup itu apa. Nanti sore, gue tunjukkin ama lo hidup itu apa.”, jawabnya.
                Malam harinya, aku duduk di mobil sport ferrari kebanggaan Paul. Entah kemana aku ‘kan dibawa. Yang tersirat difikiran hanyalah aku ingin tahu hidup itu apa, versi Paul tentunya. Mobil itu melesat ditengah hiruk pikuk kendaraan, dan remang malam. Dan setelah terhenti, kakiku ku langkahkan dalam beberapa langkah, semuanya berubah menjadi dentum musik yang menggugah kaki tuk berjinjit, yang menggoda tangan ikut meliuk. Tapi, tubuhku tak ikut meliuk, ditengah sorotan cahaya laser yang memecah remang ruangan. Inikah hidup itu?
                Selanjutnya, sebotol minuman, berdiri jelas dihadapanku, diatas meja bar klub itu.
                “Gue pesen yang paling mahal buat lo. Coba!” suruhnya, sambil menuangkan cairan botol itu dalam gelas.
                Ku tak tahu harus bagaimana saat tangannya mulai menyodorkan gelas itu. Terus memaksaku untuk masuk dalam arti hidup sebenarnya versi dirinya. Dan gelas itu makin dekat kemulutku. Dan tertelan, teguk demi teguk.
                “JD, Lemonade, rasa lemon.”, ucap Paul.
“Lo sekarang tahu, arti hidup bagi gue itu apa.”, ujarnya lagi sambil memgang gelasnya.
Aku hanya diam, sambil menatapnya. “Do what you will.”, sambungnya lagi.
Do what you will, lakukan apa yang kau inginkan. Sependek itu? Bagaimana jika aku tak bisa melakukannya. Jika aku ingin mengkerdilkan semesta, apa yang harus ku lakukan?. Jika aku ingi tahu makna hidup apa yang harus kulakukan. Ini masih buntu, dan masih butuh banyak penjelasan.
Sebelum mataku jauh lebih berat lagi, dan sebelum ku mulai jatuh karena beban kepala. Ku tinggalkan remang, sorot, dan hiruk pikuk ini menigggalkan Paul. Ah, inikah hidup baginya itu, hanya kesenangan, akh, monoton, gak bakal seru, fikirku. Paul, kau tak berguna lagi, hidupmu terlalu dangkal, maknanya. Saat semuanya mulai membebani kepala. Menurunkan kelopak mata hingga mulai berat, dan saat itu kutahu hanya ada gelap. Selanjutnya aku tersadar dikasur empuk, dikamarku.
Jika hidup itu hanya kesenangan, apa yang lain juga merasakan? Jika hidup itu hanya kesenangan, maka hanya dangkal, tak ada rasa yang lain. Akh, membosankan. Saat itu aku tersadar, bahwa Paul juga tak terlepas dari materi, tak terlepas dari uang, karena ia punya segalanya, maka iapun dapat segalanya. Do what you will.
Kemanakah akan kutanyakan lagi. Mungkin pada orang yang terlepas dari kesenangan, orang susah? Ah, tidak, sama halnya seperti pengemis atau supir angkot, mereka hanya inginkan uang, lalu pada siapa?.
Aku tahu, pada siapa kuharus bertanya.
Sore itu, adzan shalat Ashar telah berkumandang, saat itu juga telah ku tanggalkan sandal diantara sandal lainnya, hanya ada tiga pasang. Mengapa begitu sepi, mungkin tak seperti jam- jam shalat lainnya, tak seramai isya aitau maghrib. Setelah berwudlu, langsung ku langkahkan melewati gerbang majid itu.
Hanya ada satu shaff, dengan dua jama’ah, dan jamaah ketiga sedang melangkah menuju barisan, sebelum shalatnya ketinggalan. Satu pedagan gorengan keliling, satu orang berkemeja rapi, yang diimami oleh seorang muadzin yang sering adzan di masjid ini.
Kekhusyukan mengalir.
Setelah shalat selesai, kedua jama’ah langsung saja pergi. Dan yang tersisa hanya aku, dan imam. Ia adalah Soleh, pengurus masjid ini, dan sekaligus muadzin disini, sedang melafalkan sesuatu dan aku hanya mengamininya, menunggu hingga selesai. Dan selesailah, jabatan tangannya mengayalami dengan lembut, besrta senyum sapa yang tertuju kearahku.
Perbincangan dmulai, saat itu.
“Jika hidup mu itu diringkas dalam satu kalimat, kalimat apa itu?.”, tanyaku kesekian kalinya pada orang yang berbeda.
“AsyhadualLaailaha illallah, Wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah.”, ucapnya.
“Hidup itu, Cuma satu kali, dan kalau hidupku itu diringkas dalam satu kalimat, Cuma kalimat itu yang kuinginkan. Karena sebagai muslim, hidupnya pasti ditujukan Cuma buat itu, mempertahankan iman. Hidupnya pasti gak bakal berguna tanpa kenal kalimat itu, karena hidup kita didunia ini ya, bekal menuju akhirat sana.”, jelasnya.
“Jadi, hidup mu ini susah atau senang?” tanyaku.
“Alhamdulillah. Jika kita punya iman dihati, pasti hanya tenang yang ada. Tapi semua rasa juga ada disana, takut, marah, benci, senang, gembira, damai, pokoknya hati kita punya segalanya.”
“Takut murka Alloh SWT, marah, benci ya pada shaitan, senang apabila selalu mengingat rezeki dan nikmat dari-Nya, damai saat menikmati kehkusyukan saat shalat. Ah, semuanya ada dalam iman.”, sore itu berlalu sangat panjang, seolah merasa tercerahkan oleh sesuatu. Difikiranku terngiang rentetan kata yang membentuk suatu prosa.
                Hidup itu, jalan berkabut yang harus dilalui.
                Hati itu obor,
                Dan iman, adalah cahaya api  yang menerangi.
Puisi pertamaku telah, jadi.